PENGKUH agamana – luhung élmuna – jembar budayana. Itulah motto yang mesti dikenal dan dipahami sejak dini oleh kalangan sivitas akademika, wabil khusus mahasiswa, sejak masa-masa awal mereka menjadi bagian dari dinamika kehidupan Unpas. Rumusan tersebut tentu bukan hanya sekadar slogan, melainkan harus dibuktikan melalui sikap dan perilaku. Untuk merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari, proses pembentukan dan pembinaan karakter amatlah strategis, yang hal itu dapat dilakukan melalui berbagai cara dan media.
“Pada proses itulah Lembaga Kebudayaan Unpas ikut berperan,” ucap Prof. Dr. H. Asep Syamsul Bahri pada saat berbincang-bincang dengan Media Unpas baru-baru ini. Dengan melihat ruang lingkup tugas yang diembannya, kehadiran lembaga dimaksud bukanlah hanya sebagai pelengkap, melainkan sama pentingnya dengan lembaga-lembaga lainnya yang mengemban misi Tri Dharma Perguruan Tinggi. “Yang berbeda hanyalah dalam jenis dan bidang kegiatan yang menjadi garapannya,” lanjut Prof. Asep. Porsi yang diberikan kepada Lembud Unpas lebih banyak bertumpu pada visi dan misi Paguyuban Pasundan sebagai organisasi yang melahirkan Unpas. Sedangkan lembaga-lembaga lain lebih terpusat pada garapan yang diberikan Dirjen Dikti.
Namun, lanjutnya lagi, sejauh ini kehadiran dan kegiatan Lembud belum sepenuhnya teraksentuasikan, bahkan terkesan masih di bawah lembaga-lembaga setingkat yang sama-sama berkiprah menjadi penopang dan memajukan Unpas.
“Kami sebagai pihak yang diserahi mengelola Lembud harus bisa menerima kenyataan tersebut. Langkah-langkah kami masih sangat terbatas, misalnya saja dalam hal mengkoordinasikan para dosen yang mengajarkan (Ilmu) Budaya Sunda pun masih jauh dari optimal. Padahal, koordinasi tersebut amatlah penting, paling tidak untuk menyamakan persepsi yang terkait dengan perkuliahan. Kita berharap, mata kuliah dimaksud tidak diberikan asal-asalan, karena tujuannya sangat strategis, terlebih-lebih jika dikaitkan dengan motto Unpas.”
Apalagi kalau berbicara mengenai realisasi program kerja yang disusun Lembud, atau upaya melengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan, misalnya peralatan kesenian, lanjutnya, kendalanya masih cukup besar. Demikian juga untuk mengadakan pelatihan-pelatihan. Salah satu alasannya, ya, selalu saja masalah klasik, yaitu dana. Padahal, semua orang tentu mafhum, kegiatan tanpa dibarengi dana amatlah sulit terwujudkan. Tidak mungkin tenaga-tenaga yang kita butuhkan hanya diberi imbalan hatur nuhun saja,” tutur Prof. Asep.
Images: Lembud Asing-1-Edit.jpgTapi, adanya kenyataan tersebut jangan sampai membuat patah semangat. “Kalau tidak bulan ini, semoga saja terwujud pada bulan depan, semester depan, atau tahun depan. Pokoknya kami terus berupaya dan melangkah, serta tidak bosan-bosan menyusun program kerja. Dan tentu saja saya sebagai Ketua Lembud, saya amat menghargai dan mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang selama ini tetap mendedikasikan dirinya dengan penuh kesetiaan, meskipun penghargaan dari Lembud dalam bentuk materi amatlah minim,” ungkapnya lagi.
Kegiatan Lembud yang boleh dibilang rutin adalah latihan kesenian, khususnya seni Sunda, termasuk juga untuk para mahasiswa asing yang belajar di Unpas. Selain itu, tim kesenian yang dibina Lembud selalu tampil manakala diperlukan dalam suatu event yang diselenggarakan oleh universitas. Pernah juga diselenggarakan pelatihan tatakrama bagi para karyawan, dengan harapan mereka bisa bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai etika Sunda dalam menjalankan tugas sehari-harinya . “Sebab, mereka yang menjadi karyawan Unpas harus mampu tampil beda, selaras dengan misi universitas. Dalam menghadapi mahasiswa, misalnya, kita harus ramah, serta jangan sampai membuat mereka tidak respek, karena tingkah laku kita yang kurang mencerminkan nilai-nilai budaya Sunda. Sikap ramah tersebut tentu tidaklah hanya sebatas harus dimiliki karyawan, melainkan juga unsur pimpinan. Kita harus mampu memperlihatkan etika yang baik dalam setiap kesempatan,” tutur guru besar yang juga menjadi anggota Komite Etik Unpas ini.
Sayang, pelatihan semacam ini pun belum dapat dilaksanakan secara berkelanjutan, karena faktor-faktor yang tadi disebutkan. Padahal, Lembud sudah mempunyai program yang cukup resresentatif, di antaranya menyelenggarakan kursus bahasa Sunda. “Perlu dimengerti oleh semua pihak, lembaga yang terdapat di perguruan tinggi semacam Lembud, untuk kondisi saat ini, agak sulit kalau harus menghidupi dirinya tanpa kucuran biaya dari universitas. Dengan kata lain, sulit menjalin kemitraan dengan pihak lain yang bertujuan mendatangkan keuntungan finansial,” kata Prof. Asep. “Karena itu, berikan kepercayaan kepada kami disertai dukungan dana. Hasilnya nanti, tentu tidak dapat diukur secara materi, karena apa yang dikerjakan Lembud lebih mengarah pada pembentukan dan pembinaan karakter.”
Dalam waktu dekat, rencananya Lembud akan menyelenggarakan lomba menulis surat dalam bahasa Sunda. “Mudah-mudahan hal itu dapat mendukung keberadaan Lembud dalam kiprah utamanya di bidang peningkatan budaya Sunda,” tuturnya lagi, mengakhiri perbincangan.***
Lembaga Budaya Sunda Terus Berupaya dan Melangkah
Pos Sebelumnya
Ketua MA Ajak Lulusan Unpas Memberantas Mafia Hukum
Pos Berikutnya
Khilda Juara 1 Danamon Award 2011