Universitas Pasundan — dalam hal ini Fakultas Hukum — ingin mendorong atau memotivasi, agar dari Jawa Barat bisa lahir para hakim agung yang memiliki kualitas terbaik. Demikian disampaikan Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Unpas, Dr. Anthon F. Susanto, SH, M.Hum. pada saat membuka acara Seleksi Calon Hakim Agung Republik Indonesia di Kampus I Unpas Jalan Lengkong Besar, Bandung, Senin 12 Desember 2011.
Dijelaskan lebih jauh, seleksi calon hakim agung tersebut merupakan kerjasama Komisi Yudisial Republik Indonesia dengan Universitas Pasundan. Adapun jadwal seleksi berlangsung hingga 21 Desember. Pada saat pembukaan pendaftaran, tampak hadir dari berbagai kalangan; dari unsur Pengadilan dan Kejaksaan, pemerintahan, advokat, LSM, dan perguruan tinggi. Jumlah yang hadir cukup banyak sehingga hampir melampaui daya tampung ruangan senat fakultas yang dijadikan tempat pembukaan seleksi.
“Kami ingin menjajagi, seberapa besar partisipasi dari berbagai lembaga yang bergerak di bidang hukum dalam rekruitmen calon hakim agung ini, khususnya seberapa jauh sikap concern terhadap upaya meningkatkan citra lembaga peradilan,” ucap Anthon, saat diwawancara sesuai membuka acara.
Kegiatan serupa berlangsung serempak di seluruh Indonesia. Untuk Jawa Barat, tempat yang dipilih adalah Universitas Pasundan.
Menurut Anthon, dalam penjaringan calon hakim agung ini mesti dilakukan seleksi secara ketat, bukan dalam segi intelegensia saja, melainkan juga integritas dan moralitas. Hal itu untuk memperbaiki citra hakim yang pada saat sekarang menurun.
Sebelum tahap penjaringan dimulai, terlebih dahulu dipaparkan berbagai persoalan yang terkait dengan kinerja hakim. Sebagai pembicara pertama, tampil salah seorang unsur pimpinan Komisi Yudisial RI, H. Abbas Said, SH, MH. Sedangkan pembicara kedua adalah H. Absar Kartabrata, SH, M.Hum dari Unpas. Acara diskusi dipandu oleh Irwan Saleh Indrapradja, SH, M.Hum. yang juga dari Unpas.
Dulu, sebelum memasuki era reformasi, menurut Abbas Said, hakim agung berasal dari hakim karier yang sudah memenuhi persyaratan tertentu. Namun sekarang, yang tidak berlatar belakang profesi hakim pun bisa saja diangkat, setelah melalui berbagai tahapan yang disyaratkan. “Baik hakim agung karier maupun non karier, kedudukannya sama saja,” katanya.
Selanjutnya dikemukakan, mulai tahun depan, beberapa kursi hakim agung banyak yang kosong karena hakim agung yang bersangkutan memasuki masa pensiun. Dari sejumlah 54 yang kini ada, 18 di antaranya harus diisi oleh hakim-hakim agung baru. Untuk itulah Mahkamah Agung meminta Komisi Yudisial agar menyelenggarakan seleksi.
Diakui oleh Abbas Said, citra hakim di mata masyarakat Indonesia kini banyak dinilai negatif, akibat mengemukanya mafia peradilan. Citra negatif tersebut harus segera diperbaiki. “Karena itu, dalam penjaringan calon hakim agung ini ada yang jauh lebih penting lagi bagi upaya pembangunan peradilan di Indonesia,” ungkapnya.
Selanjutnya, Absar Kartabrata yang juga sebagai praktisi hukum berpendapat bahwa persoalan yang terkait dengan penegakan hukum itu sangat menarik perhatian masyarakat. “Bahkan sekarang sudah cenderung menjadi komoditas. Buktinya, lihat saja acara di televisi yang membahas problematika pengadilan. Ada sebuah stasiun televisi yang menyiarkannya selama tiga jam, dengan dukungan sponsor iklan yang cukup banyak ,” ucap Absar.
Menurut Absar, soal penjaringan calon hakim agung ini tidak hanya sekadar rutinitas belaka; ada kursi yang kosong, lalu harus segera diisi. “Ada yang lebih penting dari itu, yaitu mengembalikan citra peradilan,” tuturnya.
Namun, lanjutnya lagi, dalam mekanisme pengangkatan hakim agung, ada hal-hal yang patut kita renungkan, bahkan harus kita kaji bersama. Dalam seleksi calon hakim agung, persiapannya sudah jelas, demikian juga alat ukur dalam menetapkan kriteria. Namun para calon yang sudah terjaring itu — yang masing-masing skornya sudah jelas — belum tentu akan lolos, manakala dibawa ke DPR. “Nah, mulailah ada hal-hal yang bersifat kompromistik. Para calon yang tidak punya kaitan dengan parpol, belum tentu bisa lolos. Hasil seleksi yang sudah terukur dengan jelas itu, bisa saja dipatahkan oleh DPR. Ini kan menjadi problem, hakim agung yang mestinya independen, tapi dalam mekanisme pengangkatannya diwarnai oleh kompromi politik,” ujarnya.
Salah seorang advokat senior, Anwar Sulaeman, SH, melontarkan pendapat bahwa bukan penjaringan yang diposisikan lebih penting, melainkan upaya mengubah citra peradilan. “Kalau citra tersebut tidak berubah, orang tidak akan lagi percaya terhadap lembaga peradilan,” katanya.
Advokat senior lainnya yang angkat bicara di antaranya Melani, SH yang pernah menjadi Ketua LBH Jawa Barat. Menurut Melani, sebaiknya jumlah hakim agung ditambah sehingga lebih banyak dari sekarang. Hal ini dikemukakan Melani sehubungan dengan pernyataan Abbas Said bahwa ada hakim agung yang dalam setiap bulannya harus menangani 150 perkara. Artinya, dalam satu hari lima perkara.
“Dengan jumlah hakim agung yang banyak, untuk ke depannya tidak akan ada lagi penetapan putusan yang didasari kejar target. Sebab, walau bagaimanapun putusan hakim itu menentukan nasib orang,” ucapnya.***